Monday, October 24, 2016

DOWNLOAD FILE ASBABUN NUZUL SURAH AL FATIHAH LENGKAP

Sebagaimana diriwatkan oleh Ali bin Abi Tholib mantu Rosulullah Muhammad saw: “Surah al-Fatihah turun di Mekah dari perbendaharaan di bawah.‘arsy’”

Riwayat lain menyatakan, Amr bin Shalih bertutur kepada kami: “Ayahku
bertutur kepadaku, dari al-Kalbi, dari Abu Salih, dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Nabi berdiri di Mekah, lalu beliau membaca, Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Segala.puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam..Kemudian orang-orang Quraisy mengatakan,
“Semoga Allah menghancurkan mulutmu (atau kalimat senada).”
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rosulullah saw. bersabda saat Ubai bin Ka’ab membacakan Ummul Quran pada beliau, “Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Allah tidak menurunkan semisal surat ini di dalam Taurat, Injil, Zabur dan al-Quran. Sesungguhnya surat ini adalah as-sab’ul matsani (tujuh kalimat pujian) dan al-Quran al-’Azhim yang diberikan kepadaku.”
Surat Al-Fatihah yang merupakan surat pertama dalam Al Qur’an dan terdiri dari 7 ayat adalah masuk kelompok surat Makkiyyah, yakni surat yang diturunkan saat Nabi Muhammad di kota Mekah.
Dinamakan Al-Fatihah, lantaran letaknya berada pada urutan pertama dari 114 surah dalam Al Qur’an. Para ulama bersepakat bahwa surat yang diturunkan lengkap ini merupakan intisari dari seluruh kandungan Al Qur’an yang kemudian dirinci oleh surah-surah sesudahnya.
Surah Al-Fatihah adalah surah Makkiyyah, yaitu surah yang diturunkan di Mekkah sebelum
Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Surah ini berada di urutan pertama dari surah-surah dalam Al-Qur’an dan terdiri dari tujuh ayat. Tema-tema besar Al Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji dan kabar gembira bagi orang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang-
orang kafir serta pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang yang beruntung karena taat kepada Allah dan sengsara karena mengingkari-Nya, semua itu tercermin dalam ekstrak surah Al
Fatihah.[1]
NAMA-NAMA LAIN SURAT AL-FATIHAH
Dinamakan surah Al-Fatihah — yakni Fatihatul Kitab — hanya secara tulisan, dengan surah ini bacaan Shalat dimulai. Surah ini disebut juga Ummul Kitab menurut Jumhur Ulama, seperti yang dituturkan oleh Anas, Al Hasan, dan Ibnu Sirin.
Didalam sebuah Hadits Shahih pada Imam Turmuzi dan dinilai shahih olehhnya, Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Alhamdu lillahi rabbil ‘alamina adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, Sab’ul Masani, dan Al-Qur’anul ‘Azim.”
Al-Fatihah disebut pula Alhamdu, juga disebut Assalat karena berdasarkan sabda Rasul dari Allah mengatakan :
“Aku bagikan shalat antara aku dan hambaku, menjadi dua bagian. Apabila seorang hamba mengucapkan,”Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin, maka Allah berfirman bahwa hambaku telah memujiku.” ( hadis)
Surah Al-Fatihah disebut juga Salat karena ia merupakah syarat dalam shalat. Surah Al-Fatihah disebut juga Syifa, seperti yang disebutkan didalam riwayat Ad-Darimi melalui Abu Sa’id secara marfu’. Yaitu :
“Fatihatul Kitab ( surah Al-Fatihah ) adalah obat penawar bagi segala jenis racun.”
Surah Al-Fatihah juga dikenal dengan Ruqyah, seperti yang disebutkan didalam Hadits Abu Sa’id yang shahih, pada saat beliau membacakannya untuk mengobati seorang laki-laki sehat ( yang tersengat kalajengking ). Rsulullah SAW bersabda kepada Abu Sa’id ( Al Khudri ).
“Siapakah yang memberitahumu Bahwa Surah Al-Fatihah adalah Ruqyah?”
Asy Syabi meriwayatkan sebuah asar melalui Ibnu Abbas, bahwa Ia menamakannya Assasul Qur’an (fondasi Al-Qur’an). Ibnu Abbas mengatakan bahwa Fondasi Al-Qur’an adalah Bismilahi rahmanii rahiim.
Sufyan Ibnu Uyaynah menamakannya Al-Waqiyah, sedangkan Yahya Ibnu Kasir menamakannya Al-Kafiyah. Karena surah Al-Fatihah sudah mencukupi tanoa selainnya. Sedangkan surah selainnya tidak mencukupi tanpa Surah Al-Fatihah. Seperti yang disebutka sebuah Hadits berpredikat Mursal dibawah ini,
“Ummul Qur’an merupakan pengganti dari yang lainnya, sedangkan selainnya tidak dapat dijadikan sebagai penggantinya.”
Surah ini dinamakan pula As-Salah dan Al-Kanz, kedua nama ini disebutkan oleh Az-Zamakhsyari dalam kitab Kasysyaf.
HADIS-HADIS YANG MENERANGKAN KEUTAMAAN SURAT AL-FATIHAH
Imam Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Hambal didalam kitab musnadnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya Ibnu Sa’id dari Syu’bah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Khubaib Ibnu Abdur Rahman dari Hafz Ibnu Asim dari Abu Sa’id Ibnul Ma’la ra. Yang menceritakan :
“Aku sedang shalat, kemudian Rasulullah SAW memanggilku tetapi aku tidak menjawabnya hingga aku selesai dari shalatku lalubaku datang kepadanya dan Ia bertanya “Mengapa engkau tidak segera datang kepadaku?, aku menjawab ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku sedang shalat’ Rasulullah SAW bersabda “Bukankah Allah SWT telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan Rasulnya apabila Rasul kalian menyerukan suatu yang memberi kehidupan kepada kalian (Al Anfal: 24). Kemudian Rasulullah SAW Bersabda : ” Sesungguhnya aku benar-benar akan mengajarkanmu surat yang paling besar di dalan Al-Qur’an sebelum kamu keluar dari mesjid ini.” Lalu beliau memegang tanganku ketika beliau hendak keluar dari mesjid, aku bertanya, “Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau telah mengatakan kepadaku bahwa engkau akan mengajarkan kepadaku surat Al-Qur’an yang paling agung. Beliau menjawab “Ya, Alhamdulilahi rabbil ‘alamin adalah Sab’ul Masani dan Al-Qur’anul ‘Azim yang diturunkan kepadaku.”
Demikian pula seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Musaddad dan Ali Ibnul Madini l, keduannya dari Yahya Ibnu Sa’id Al-Qattan, dengan lafaz yang sama. Imam Bukhari pun meriwayat kan Hadis ini pada bagian lain daam tafsirnya. Dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari berbagi jalur melalui Syu’bah dalam lafaz yang sama.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan Imam Nasa’i secara bersamaan, dari Abu Ammar Husein Ibnu Hurayyis, dari Al-Fadl Ibnu Musa, dari Abdul Hamid Ibnu Ja’far, dari Al-Ala dari ayahnya, dari Abu Hurairrah, dari Ubay Ibnu Ka’ab tang menceritakan bahwa rasulullah SAW bersabda : ” Allah tidak menurunkan didalam kitab Taurat tidak pula didalam kitab Injil hal yang semisal Ummul Qur’an, ia adalah As Sab’ul Masani dan ia terbagi antara Aku ( Allah ) dan hamba-Ku menjadi dua bagian.”
Imam Muslim didalam kitab shahih-nya dan Imam Nasa’i didalam kitab sunan-nya telah meriwayatkan dari hadis Abul Ahwas Salam Ibnu Salim dari Amman Ibnu Zuraiq, dari Abdullah Ibnu Isa Ibnu Abdur Rahman Ibnu Abu Laila, dari Sa’id Ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, “Ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW. Yang saat itu sedang bersama malaikat Jibril, tiba-tiba Jibril mendengar suara gemuruh diatasnya, laly Jibril mngangkat pandangannya kelangit dan berkata, ’Ini adalah suara pintu langit terbuka, pintu ini sama sekali belum pernah terbuka’ lali turunlah seorang malaikat dan langsung datang kepada Nabi SAW. dan berkata :
“Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepada-mu, tiada seorang nabi pun sebelummu yang pernah diberi keduannya, yaitu fatihatul kitab dan ayat-ayat terakhir sirat Al-Baqarah, tidak sekali-kali kamu membaca satu huruf darinya, melainkan pasti kamu diberikan (pahala)nya”
Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siaa shalat tanpa membaca Ummul Qur’an didalamnya, maka shalatnya khidaj – sebanyak tiga kali – yakni tidak sempurna”
Share:

Download Mp3 Murottal Al Qur’an 30 Juz Syaikh Misyari Rasyid Alafasy

Download Murottal Al Qur’an 30 Juz MP3 Syaikh Misyari Rasyid Alafasy

Al-Afasy nama lengkapnya Shaikh Mishary Rashid Ghareeb Mohammed Rashid Al-Afasy adalah seorang munsyid, hafiz dan imam berkebangsaan Kuwait. Al-Afasy banyak dikenal karena resital Al-Quran dan nasyid yang dilantunkannya. Salah satu nasyidnya yang sangat populer yang berjudul Qolbi Ashghiir (My Small Heart). Al-Afasy sering muncul dalam acara pembacaan Al-Quran di televisi-televisi di kawasan Timur Tengah.
Pada tanggal 25 Oktober 2008, Al-Afasy menerima penghargaan Arab Creativity Oscar yang disponsori oleh Sekjen Liga Arab, Amir Musa, atas jasa-jasanya dalam mendakwahkan ajaran Islam yang damai dan santun dengan memanfaatkan berbagai media.


Pada kesempatan kali ini saya membagikan postingan tentang Download Kumpulan MP3 Al-Qur’an Oleh Syaikh Mishari Rashid Alafasy, Semoga bermanfaat. Bagi yang ingin mendownload, 

Share:

Sunday, October 23, 2016

Asbabun Nuzul Al-Qur'an 5

Beberapa Riwayat Mengenai Asbabun Nuzul

Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam hal demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”. Maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu; sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.

2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”; sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang sebab nuzul firman Allah:
“ Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (al-Baqarah: 223)
Dari Nafi’ disebutkan: “Pada suatu hari aku membaca (Isteri-isterimu adalah [seperti] tanah tempat kamu bercocok tanam), maka kata Ibnu ‘Umar: ‘Tahukah engkau mengenai apa ayat ini turun?” aku menjawab: ‘Tidak.’ Ia berkata: ‘Ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi istri dari belakang.’” (hadits riwayat Bukhari dan lainnya). Bentuk riwayat dari Ibnu ‘Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan: “Orang-orang Yahudi berkata: ‘Apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya dari belakang, maka anaknya nanti akan bermata juling.’ Maka turunlah ayat (Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki)”, (hadits riwayat al-Bukhari, ‘Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i, Ibnu Majah dan yang lain). Maka hadits dari Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedang ucapan Ibnu ‘Umar, tidaklah demikian; karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
3. Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat di antaranya shahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan ahli hadits lainnya, dari Jundub al-Bajali: “Nabi menderita sakit, hingga dua atau tiga malam tidak bangun malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata: ‘Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu.’ Maka Allah menurunkan firman ini “Demi waktu dluha; dan demi malam apabila telah sunyi; Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidaklah benci kepadamu.”
Sementara itu Tabarani dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, dari Hafs bin Maisarah, dari ibunya, dari budak perempuan pembantu Rasulullah: “Bahwa seekor anak anjing telah masuk ke dalam rumah Nabi, lalu masuk ke kolong tempat tidur dan mati. Karenanya selama empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata: ‘Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah Rasulullah ini? Sehingga Jibril tidak datang kepadaku.’ Dalam hati aku berkata: ‘Alangkah baiknya andai aku membenahi rumah ini dan menyapunya.’ Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak anjing. Lalu datanglah Nabi sedang janggutnya tergetar. Apabila turun wahyu kepadanya ia tergetar. Maka Allah menurunkan (Demi waktu dluha) sampai dengan (lalu hatimu menjadi puas).”
Ibnu Hajar dalam Syarah Bukhari berkata: “Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anak anjing itu cukup masyur. Tetapi bahwa kisah itu dijadikan sebab turun ayat adalah suatu hal yang ganjil (gharib). Dalam isnad hadits itu terdapat orang yang tidak dikenal. Maka yang menjadi pegangan adalah riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim.
4. Apabila riwayat itu sama-sama shahih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. Contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Aku berjalan dengan Nabi di Madinah. Ia berpegang pada tongkat dari pelepah pohon kurma. Dan ketika melewati serombongan orang-orang Yahudi, seseorang di antara mereka berkata: ‘Coba kamu tanyakan sesuatu padanya.’ Lalu mereka menanyakan: ‘Ceritakan kepada kami tentang ruh.’ Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu tengah turun kepadanya. Wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia berkata: (“Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit).” (al-Isra’: 85).
Diriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi: ‘Berikan kami suatu persoalan untuk kami tanyakan kepada orang ini (Muhammad).’ Mereka menjawab: ‘Tanyakan kepadanya tentang ruh.’ Lalu mereka tanyakan kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: (Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah ruh itu termasuk urusan Tuhanku).”
Riwayat ini memberi kesan bahwa ayat ini turun di Mekah, tempat adanya kaum Quraisy. Sedang riwayat pertama memberi kesan turun di Madinah. Riwayat pertama dikukuhkan karena Ibnu Mas’ud hadir dalam atau menyaksikan kisah tersebut. Di samping itu umat juga telah terbiasa untuk lebih menerima hadits shahih Bukhari dan memandangnya lebih kuat dari hadits shahih yang dinyatakan oleh lainnya.
Zarkasyi berpendapat, contoh seperti ini termasuk ke dalam bab “banyak dan berulangnya nuzul”. Dengan demikian, ayat di atas turun dua kali, sekali di Mekah dan sekali di Madinah. Dan yang menjadi sandaran untuk hal ini adalah bahwa surah ‘Subhaana’ atau al-Israa’ adalah Makki menurut kesepakatan.
Mannaa’ Khalil al-Qattaan berpendapat, kalaupun surah itu Makki sifatnya, namun tidak dapat ditolak apabila satu ayat atau lebih dari surah tersebut itu Madani. Apa yang diriwayatkan al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud di atas menunjukkan bahwa ayat ini (katakanlah: ruh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit) adalah Madani. Karena itu pendapat yang dipilih Mannaa’ Khalil al-Qattaan adalah menguatkan (tarjih) riwayat Ibnu Mas’ud atas riwayat Tirmidzi dan Ibnu ‘Abbas, lebih baik daripada memvonis ayat tersebut dengan banyak dan berulangnya nuzul. Sekiranya benar bahwa ayat tersebut Makki dan diturunkan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan, maka pengulangan pertanyaan yang sama di Madinah tidak menuntut penurunan wahyu dengan jawaban yang sama pula, sekali lagi. Tetapi yang dituntut adalah agar Rasulullah menjawabnya dengan jawaban yang telah turun sebelumnya.
Share:

Saturday, October 22, 2016

Asbabun Nuzul Al-Qur'an 3

Yang Menjadi Pegangan adalah Lafal yang Umum, bukan Sebab yang Khusus


Apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab secara umum, atau sesuai dengan sebab secara khusu, maka yang umum (‘amm) diterapkan pada keumumannya dan yang khusus (khass) pada kekhususannya. Contoh yang pertama adalah firman Allah:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(al-Baqarah: 222)
Anas berkata: “Bila istri orang-orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang haid… Kemudian kata Rasulullah: jaami’uu hunna fil buyuuti, washna’uu kulla syai-in illan nikaah (bersama-samalah dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya).
Contoh kedua ialah firman-Nya:
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.”
(al-Lail: 17-21)
Ayat-ayat di atas diturunkan mengenai Abu Bakr. Kata al-atqa (orang yang paling takwa) menurut tasrif berbentuk af’al untuk menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-‘adiyah (kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Kata sandang “al” menunjukkan arti umum bila ia berfungsi sebagai kata ganti penghubung (isim mausul) atau mu’arrifah (berfungsi memakrifatkan) bagi kata jamak, menurut pendapat yang kuat. Sedang ‘al’ dalam kata ‘al-atqa’ bukan kata ganti penghubung, sebab kata ganti penghubung tidak dirangkaikan dengan bentuk superlatif; lagipula ‘al-atqa’ bukan kata jamak, melainkan kata tunggal. Al-‘ahdu atau apa yang telah diketahui itu sendiri sudah ada, di samping bentuk superlatif af’al itu khusus menunjukkan yang membedakan. Dengan demikian, hal ini telah cukup untuk membatasi makna ayat pada orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Oleh sebab itu, al-Wahidi berkata: “Al-atqa adalah Abu Bakr ash-Shiddiq menurut pendapat para ahli tafsir.”
Menurut ‘Urwah, Abu Bakr telah memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa karena membela agama Allah: Bilal, ‘Amir bin Fuhairah, Nahdiyah dan anak permpuannya, Umm ‘Isa dan budak perempuan Bani Mau’il. Untuk itu turunlah ayat “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa itu dari neraka” sampai dengan akhir surah (hadits riwayat Ibn Abi Hatim).
Hal yang serupa diriwayatkan dari ‘Amr bin Abdullah bin Zubair, yang menambahkan: “Maka berkenaan dengan Abu Bakr tersebut turunlah ayat ini (Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa) sampai dengan (padahal tidak ada seorang pun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya; tetapi ia memberikan itu semua semata-mata karena mencari keridlaan Tuhannya Yang Mahatinggi; dan kelak benar-benar ia mendapatkan kepuasannya) (Hadist riwayat al-Hakim dan dishahihkannya pula).”
Jika sebab itu khusu, sedang ayat yang turun berbentuk umum, maka para ahli usuh berselisih pendapat: yang dijadikan pegangan itu lafal yang umum ataukah sebab yang khusus.
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusu sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu. Misalnya ayat “li’aan” yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya.
“Dari Ibnu Abbas, Hilal bin Umayah menuduh istrinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma’ di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata: ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata: ‘Wahai Rasulallah, apabila salah seorang di antara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya; apakah ia harus mencari bukti?’ Rasulullah menjawab: ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata: ‘Demi Yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnyalah perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.’ Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada Nabi: (Dan orang-orang yang menuduh istrinya) sampai dengan (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar) (an-Nuur: 6-9).
Hukum yang diambil dari lafal umum ini (Dan orang-orang yang menuduh istrinya) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain.
Inilah pendapat yang kuat dan paling shahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman (universalitas) hukum-hukum syariat. Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para shahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat-ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk sebab-sebab khusus sudah populer di kalangan para ahli. Ibnu Taimiyah berkata: “Hal yang demikian ini sering kali terjadi. Dan termasuk ke dalam bab ini adalah ucapan mereka: Ayat ini diturunkan dalam hal seperti ini; khususnya apabila yang disebutkan itu orang tertentu. Seperti ucapan mereka: ayat zihar itu turun mengenai istri Aus bin Samit; dan ayat kalalah turun mengenai Jabir bin ‘Abdullah; dan firman-Nya (dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka) (al-Maidah: 49) turun mengenai Bani Quraizah dan Bani Nadlir.
Begitu pula mereka menyebutkan bahwa ayat ini turun mengenai kaum musyrikin Mekah, atau kaum Yahudi dan Nasrani, atau kaum yang beriman. Pernyataan ini tidak dimaksudkan bahwa hukum ayat-ayat tersebut hanya berlaku khusus bagi orang-orang itu dan tidak berlaku bagi orang lain. Hal sedemikian sama sekali tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim atau orang yang berakal. Sebab, sekalipun mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang lafal umum yang turun berdasarkan sesuatu sebab, adakah lafal umum itu hanya berlaku khusus bagi sebab turunnya itu? Tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang mengatakan bahwa keumuman kitab dan sunah itu dikhususkan kepada orang-orang tertentu. Yang mereka katakan ialah: Ayat yang umum itu khusus mengenai ‘jenis’ perkara orang tersebut, sehingga berlaku umum bagi khusus yang serupa dengannya. Keumuman ayat tidak hanya didasarkan pada keumuman lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu, bila berupa perintah atau larangan, berlaku bagi orang (sebab) tertentu, dan orang lain yang kedudukan sama dengannya. Apabila ayat itu berisi pujian atau celaan, maka pujian dan celaan itu ditujukan kepada orang tersebut dan orang lain yang sama kedudukannya.”
2. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab khusus, bukan lafal umum; karena lafal umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti kias dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.
Share: